Selasa, 28 September 2010

PENGARUH KEPUASAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN PABRIK ROTI BATAVIA

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produksi merupakan pusat pelaksanaan kegiatan yang konkrit bagi Pengadaan barang dan jasa pada suatu badan usaha dan perusahaan. Proses produksi tersebut merupakan bagian yang terpenting dalam perusahaan, karena apabila berhenti maka perusahaan akan mengalami kerugian. Dalam kegiatan produksi faktor tenaga kerja (karyawan) mempunyai pengaruh besar, karena tenaga kerjalah yang melaksanakan proses produksi tersebut. karyawan pada hakekatnya merupakan salah satu unsur yang menjadi sumber daya dalam perusahaan. Sumber daya manusia inilah yang menjalankan kegiatan sehari-hari.

Dalam hal kesejahteraan karyawan, Pabrik Roti Batavia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kemakmuran karyawannya misalanya dengan memperhatikan kompetensi yang dimiliki karyawan, dan dengan menjalankan system rotasi dan mutasi yang baik antar bagian.

Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi pokok permasalahan ini adalah: “Adakah pengaruh motivasi kerja karyawan terhadap produktivitas kerja karyawan Pabrik Roti Batavia ? Variabel kepuasan dan motivasi pekerjaan manakah yang merupakan variable paling dominan dalam menentukan produktivitas kerja karyawan ?”

Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah yang pertama untuk mengkaji secara empiris apakah motivasi berpengaruh terhadap produktivitas kerja karyawan yang ada di Pabrik Roti Batavia, yang kedua untuk mengetahui variable-variabel mana yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap kepuasan kerja karyawan.

Kerangka Pemikiran

Penelitian ini akan mengungkap pengaruh motivasi kerja terhadap produktivitas kerja karyawan Pabrik Roti Batavia. Responden yang diteliti sebanyak 40 orang karyawan, sedangkan variabelnya yaitu motivasi kerja karyawan sebagai variabel bebas dan produktivitas kerja sebagai variabel terikat. Untuk memperoleh kedua data tersebut digunakan angket. Diprediksikan motivasi kerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap produktivitas kerja karyawan. Motivasi kerja karyawan yang tinggi dipengaruhi oleh 2 hal yaitu motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi instrinsik merupakan motivasi kerja yang berasal dari dalam diri karyawan yang meliputi minat dan sikap kerja yang positif.

METODE PENGUMPULAN DATA

penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data yang dianalisis untuk melihat gambaran hasil penelitian dan menguji hipotesis yang diajukan. Penggambaran hasil penelitian ini dapat dilihat dari mean, standart deviasi dan variansnya, sedangkan pengujian hipotesis digunakan analisis regresi linier, yang sebelumnya diuji kenormalan data sebagai prasarat penggunaan analisis regresi tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :

1. Ada pengaruh motivasi kerja terhadap produktivitas kerja karyawan Indonesia. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa motivasi kerja karyawan bagian produksi termasuk tinggi, yang ditunjukkan dari minat, sikap positif yang tinggi, meskipun aspek rangsangan masih kurang. Dengan adanya motivasi yang tinggi ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja.

2. Variabel otonomi dan umpan balik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan Pabrik Roti Batavia serta variabel otonomi merupakan variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi kepuasan kerja karyawan Pabrik Roti Batavia

Saran

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka terdapat beberapa hal yang dapat disarankan antara lain:

1. Berdasarkan hasil penelitian bahwa karyawan Pabrik Roti Batavia menerima gaji

Sesuai dengan UMR. Maka disarankan pada pihak perusahaan untuk memperhatikan peningkatan upah yang layak agar dapat memotivasi karyawan dan lebih memmpunyai semangat kerja dan akhirnya menghasilkan produktivitas kerja yang optimal.

2. Motivasi yang mempengaruhi produktivitas kerja sebesar 30,1 %. Sedangkan sisanya sebesar 69,9% dipengaruhi oleh variabel lain. Pada penelitian berikutnya disarankan agar menambah variabel bebasnya misal: lingkungan kerja, dan kepuasan kerja.

3. Walaupun variabel-variabel kompensasi financial, kompensasi non finansial, variasi pekerjaan, identitas tugas dan signifikansi tugas tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan di unit produksi Pabrik Roti Battavia

Selasa, 25 Mei 2010

Mengembalikan jati diri kepribadian bangsa

17 agustus 1945 adalah hari kemerdekaan bangsa kita,pemuda dan pemudi berjuang mempertaruhkan nyawa dan darah bersatu untuk mencapai kemerdekaan itu.Persatuan dan mencintai kebudayaan adalah jati diri bangsa kita
Cerita diatas mungkin hanya kenangan.Keadaan itupun telah berubah bersamaan dengan pertumbuhan masa globalisasi yang berkembang sangat pesat dimana kebudayaan kita telah diambang kepunahan.Selain itu persatuan yang dulunya kita junjung tinggi telah memudar,kerusuhan dimana mana,perang agama atau pun perang antar ras kerap terjadi di negeri ini.
Mengapa Jati diri bangsa kita yang dulunya penuh kedamaian harus di akhiri,kenapa rasa persatuan kita yang kita pegang begitu erat harus hilang?
Wajah indonesia tak seindah dulu dimana mana orang mencintai alam dan lingkungan,tapi sekarang semuanya telah berubah,terjadi penebangan liar dimana mana.Mereka lebih melirik hasil dan mengabaikan dampak dan resiko dengan apa yang mereka lakukan.

Seni dan budaya yang dulunya sering dipentaskan di depan rakyat kini jarang lagi kita jumpai.Generasi sekarang mengabaikan tari-tari tradisional daerah dan beralih ke break dance,disco modern dll.Kebanyakan dari generasi sekarang lebih memilih mempelajari budaya asing dan menelantarkan budaya kita sendiri.Kalau ini terus dibiarkan berlarut-larut jati diri bangsa kita sebagai negara yang cinta akan seni dan budaya sendiri akan hilang.Tari tradisional,bahasa daerah dan adat istiadat bakalan terlupakan.

Merdeka..merdeka.! mungkin kata itu sering diteriakkan pada masa penjajahan dulu dimana seluruh bangsa indonesia bersatu dan membulatkan tekat untuk mencapai kemerdekaan.Ribuan bahkan jutaan pejuang-pejuang kita mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan keutuhan wilayah indonesia dari negara asing yang berusaha mengambil hak kita.Merekat telah tiada,banyak yang tewas dalam perang.Jiwa nasionalisme mereka tinggi tapi sayang tidak semua orang mewarisi jiwa nasionalisme mereka.

Perangi dampak negatif era globalisasi untuk mengembalikan bangsa ke jati diri yang sebenarnya

Seiring masa globalisasi yang berkembang dengan cepat,wajah indonesia seakan mengikuti arus.Bukan hanya menimbulkan dampak positif tapi juga dampak negatif yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian dan jati diri bangsa kita
Arus global yang besar seakan merasuk kedalam kehidupan masyarakat,pengaruh globalisasi yang kuat juga terjadi pada generasi muda membuat mereka kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa indonesia.Seperti contoh cara berpakaian mereka,memberi kesan yang cenderung mengarah ke kehidupan barat(asing).Berpakaian minim keliatan sexy memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak keliatan.Itu sudah jelas-jelas bukan jati diri atau tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa kita.Selain itu hair style tidak lepas dari gaya barat.Rambut di cat dengan warna yang beraneka ragam.Tidak banyak dari remaja yang menjaga jati diri kita sebagai bangsa yang berbudaya dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan identitas kepribadian bangsa kita.

Dilihat dari sikap dan perbuatan,mereka cenderung bebas tanpa beban.
Mengembalikan jati diri bangsa seakan sangat susah apa lagi harus di hadapkan dengan kehidupan era globalisasi yang menganut sistem kebebasan.Tanpa kesadaran dari masing-masing individu,jati diri bangsa sebagai negara yang berbudaya sulit kita capai.
Remaja cuek termasuk disaat mereka berinteraksi dengan orang tua,kesannya tak peduli akan kehidupan sekitar.Mereka betul betul terbawa arus globalisasi karena hal itu mereka bertindak sesuka hati,Seperti sekarang ini mereka membentuk gank atau organisasi di sekolah untuk melakukan hal hal anarki yang mengarah padah pengrusakan fasilitas umum.Jika mereka tidak bisa mengontrol diri kita bisa mengetahui dari sekarang bagaimana kehidupan bangsa kita nantinya.
Salah satu jati diri bangsa kita adalah rasa persatuan yang begitu kuat tapi sekarang karena kekuasaan,persatuan mulai pudar,mereka lebih memilih memisahkan diri dan membentuk kelompok kecil katanya buat cari sensasai dan perhatian.Membentuk komunitas kecil seakan kurang pas apa lagi jika komunitas itu menganut sistem kebebasan,hal seperti ini yang bisa memacu hilangnya rasa persatuan kita.Moral generasi bangsa jadi rusak ,timbul tindakan anarkis antar golongan muda dan lambat laun jiwa nasionalisme akan berkuran karena tidak adanya rasa cinta terhadap budaya bangsa kita sendiri dan hilangnya rasa peduli terhadap masyarakat.
Munculnya sikap individualisme menimbulkan rasa tidak peduli terhadap masyarakat,lingkungan dan bangsa

Inilah kenyataan yang merupakan zaman dimana kebebasan di wajarkan,hal yang tak baik di biasakan.Pengaruh barat harusnya disaring bukan mengikuti arus.Pergaulan bebas dimana mana,remaja yang mengatas namakan dirinya anak gaul bermunculan,banyakan nongkrong di mall daripada harus duduk diperpustakaan menambah ilmu.Hura hura,kehidupan malam,minuman keras,narkoba dll adalah di anggap teman hidup.Generasi muda sekarang harusnya sadar bahwa narkoba bisa merusak masa depan kita juga berdampak pada kehidupan jati diri bangsa kita.
Dimanakah idealisme kita saat arus globalisasi mengalir masuk dalam sistem kehidupan kita.Apakah jati diri bangsa harus rusak karena perubahan cara berfikir generasi muda yang mengarah ke negatif?

Globalisasi memang menyuntikkan dampak negatif yang sangat sangat besar kepada generasi mudah bangsa kita,pornografi sudah dianggap bukan hal yang tabu lagi.VCD porno,video atau photo-photo 18 tahun keatas sudah banyak dikonsumsi oleh anak anak SD apa lagi mereka yang sudah duduk di bangku SMP atau SMA.Barang barang diatas merupakan barang bebas dimana siapa saja apakah itu bocah kecil atau dewasa bisa dengan mudah mendapatkannya.Tak heran berawal dari nonton atau melihat sesuatu yang berbau porografi mengarah kepada pergaulan bebas.Jati diri bangsa kita tidak seperti itu,jika dibiarkan menjalar maka
mengembalikan jati diri bangsa yang bermoral sulit terwujud

Contoh kecil juga bisa kita rasakan,budaya asing sekarang menjalar kehidupan kita,dari segi makanan misalnya pizza,spagheti,coca cola.Sekarang produk-produk itu sering kita jumpai dimana saja.Hal merupakan tanda awal dimana budaya asing telah masuk.Banyak ibu ibu lebih memilih belajar bagaimana cara membuat makanan diatas padahal makanan tradisional sendiri tidak tahu cara membuatnya.Kita bisa juga liat dari segi bahasa yang di gunakan remaja sekarang,banyak modifikasi sehingga bahasa indonesia kehilangan cara mengeja yang benar.Y sebut saja bahasa gaul.Kalau dibiarkan terus bahasa resmi negara kita adalah bahasa indonesia akan berubah jadi bahasa gaul.he.he
kalo dipikir pikir lucu juga,perhatikan kalimat ini ‘’so what gitu lho” bahasa indonesia di gabung bahasa asing.Ini merupakan cara penggunaan bahasa yang tidak benar.Kalau kalimat itu di ucapkan kepada orang tua usia lanjut,mana mengerti

Jangan sampai melupakan ciri khas indonesia yang seharusnya dilestarikan,jangan sampai budaya asing nantinya menguasai kita dan mewariskan sesuatu yang bukan Jati diri bangsa kepada generasi berikutnya

Kita adalah bangsa indonesia,Dan warga yang baik adalah warga yang bisa menjaga kepribadian dan melestarikan kebudayaan bangsa.Generasi muda bangsa indonesia bukan sekedar sebagai penerus bangsa tapi juga menjadi tulang punggung bangsa kita.Ditangan kita nasib negara ini,ditangan kita jati diri sebagai bangsa indonesia bisa terjaga.

Dijaman era globalisasi sekarang ini kita dituntut untuk berfikir lebih kritis,analitis dan logis serta tetap dengan kuat berpegang teguh kepad PANCASILA agar kita tidak terjerumus termakan masa.
Mari bersama bersatu dimulai dari diri kita masinga-masing untuk memerangi dan menyaring budaya asing yang masuk ke negara kita.Jangan sampai jati diri dan kepribadian bangsa kita hilang.Kita harus terus menjaga dan melestarikan budaya kita.Mengembalikan jati diri dan kepribadian bangsa seperti dulu memang tidak mudah tapi hal ini juga tidak boleh dibiarkan terus menerus.Mari bersatu mengembalikan jati diri bangsa yang mulai hilang.Merdeka

KONSEPSI KEHIDUPAN GLOBAL ANTAR BANGSA MENURUT FAHAM PANCASILA

PENDAHULUAN

Fungsi Pancasila untuk memberikan orientasi ke depan mengharuskan bangsa Indonesia selalu menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapinya. Kemajuan ilmu pengetahuan, kecanggihan teknologi dan lainnya sarana komunikasi membuat dunia semakin kecil dan menguatnya interdependensi dikalangan bangsa-bangsa di dunia. Ini berarti bahwa pembangunan nasional tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor dalam negeri secara mondial. Bangsa Indonesia yang sedang sibuk membangun dengan usaha memecahkan masalah-masalah dalam negeri seperti kemiskinan, kesenjangan sosial dan lain sebagainya, mau tidak mau ikut terseret kedalam jaringan politik dunia, yang semakin dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa, Globalisasi ekonomi jelas memberikan dampak yang cukup jauh. Baik dalam bentuk ancaman ketergantungan yang mempersulit usaha bangsa menuju kemandirian, maupun dalam bentuk pemupukan modal dikalangan kelompok elit yang tidak selalu sejalan dengan kebijakan pemerataan kesejahteraan.

Hal itu semua menunjukan bahwa bangsa Indonesia dihadapkan ada tantangan untuk survival, yaitu tantangan memiliki cara hidup dan tingkat kehidupan wajar secara manusiawi dan adil. Tantangan itu hanya bisa diatasi bila bangsa Indonesia di satu pihak tetap mempertahan identitasnya dalam ikatan persatuan nasional, dan dilain pihak mampu mengembangkan dinamikanya. Agar mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Dinamika tersebut mengandaikan kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap proses kehidupandan menjalankan inovasi untuk menciptakan kualitas kerja dan kualitas produk yang makin baik, apabila selalu dipupuk sikap yang rasional dan kritis serta kreativitas di kalangan masyarakat.

Dengan demikian anak-anak bangsa sebagai generasi penerus akan memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta tidak akan mengarah ke disintegrasi bangsa, karena bangsa Indonesia adalah sebagai keturunan bangsa pejuang yang memiliki latar belakang sejarah yang mengandung nilai-nilai kejuangan melalui perjuangan fisik antara merdeka dan mati, sehingga diperlukan "Konsepsi kehidupan global antar bangsa menurut faham Pancasila" dalam menghadapi era globalisasi.

Maksud dan Tujuan

Maksud penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran secara garis besar tentang Konsepsi kehidupan global antar bangsa menurut faham Pancasila, guna memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.

Tujuan adalah menyadarkan kembali setiap warga negara Indonesia untuk mengerti dan memahami, melaksanakan dan menghayati serta mengamalkan nilai-nilai Pancasila, sehingga menimbulkan semangat rasa kebangsaan dan siap menghadapi era globalisasi.

GLOBALISASI

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan struktur baru, yaitu struktur global. Struktur tersebut akan mengakibatkan semua bangsa di dunia mau tidak mau akan terlibat dalam suatu tatanan global yang seragam, pola hubungan dan pergaulan yang seragam khususnya dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, secara garis besar dapat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sebagai berikut :

Aspek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang semakin pesat terutama teknologi komunikasi dan transportasi, menyebabkan issu-issu global tersebut menjadi semakin cepat menyebar dan menerpa pada berbagai tatanan, baik tatanan politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. Dengan kata lain globalisasi yang ditunjang dengan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadikan dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas-batas negara.

Masyarakat dunia terus berubah sejalan dengan perkembangan teknologi, dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan berlanjut ke masyarakat pasca industri yang serba teknologis. Pencapaian tujuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan cenderung akan semakin ditentukan oleh penguasaan teknologi dan informasi, walaupun kualitas sumber daya manusia (SDM) masih tetap yang utama. Pada Era Globalisasi kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, pola industri, sistem moneter dan perdagangan dunia cenderung akan menjadikan kehidupan seluruh bangsa sebagai satu masyarakat dunia yang terbuka tanpa mengenal batas negara, namun cenderung menekan masyarakat negara-negara berkembang. Perbedaan kepentingan antar negara-negara maju dengan negara berkembang yang penduduknya lebih dari dua pertiga jumlah penduduk dunia, cenderung akan membuat negara-negara maju untuk beraliansi secara regional dan bersikap proteksionistis, dimana hal ini berakibat terhambatnya kemajuan ekonomi negara-negara berkembang. Kondisi tersebut menunjukan bahwa konflik kepentingan ekonomi akan semakin menonjol.

Dampak yang ditimbulkan oleh teknologi dalam era globalisasi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, sangat luas. Teknologi ini dapat menghilangkan batas geografis pada tingkat negara maupun dunia. Prof. Vedin yang ahli dalam bidang inovasi, secara elegan menguraikan pengaruh komputer, misalnya sebagai alat diag-nose penyakit, serta kemungkinan tak terbatas dari aplikasi komputer dalam banyak segi kehidupan. Kecenderungan-kecenderungan baru dalam saling pengaruh teknologi tak terbatas. Interpretasi baru terhadap ide Schumacher serta perlunya peningkatan peran IMF dan Bank Dunia untuk membantu ketertinggalan Dunia ketiga (Bengt- Arne Vedin hal 89).

Aspek Ekonomi. Telah timbul pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat di masa kini akibat pengaruh negatif dari globalisasi. Hal ini terjadi karena ciri-ciri dari era globalisasi dan kelanjutan atau akibat dari berakhirnya "Perang Dingin" yang menurunkan prioritas pembinaan sistem pertahanan dan keamanan pada berbagai negara terhadap kemungkinan ancaman invasi asing pada titik terendah selama kurun waktu pasca perang dunia II. Sebagai kelanjutannya kebutuhan untuk meningkatkan ekonomi diletakkan pada prioritas yang tinggi, sehingga setiap permasalahan hanya dilihat dari kaca mata ekonomi semata dan cenderung mengabaikan kemungkinan-kemungkinan lain yang timbul, terutama dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan di berbagai bidang yang tidak berkaitan langsung dengan masalah ekonomi. Prioritas di bidang peningkatan ekonomi ini juga diakibatkan oleh terjadinya perubahan status negara Super Power Amerika Serikat (USA) yang telah tampil sebagai pemenang dalam perang dingin sehingga menjadi satu-satunya "Negara Adikuasa" dan menempatkan dirinya sebagai "Polisi Dunia". Akibatnya negara-negara lain terutama yang merasa tidak akan mampu bersaing dengan USA dari segi kekuatan militernya ataupun yang merasa terlindungi oleh USA dalam hal pertahanan negaranya. Pen'dewa'an masyarakat termasuk para pakar dan pejabat pemerintah pada norma-norma ekonomi yang berlaku global. Hal tersebut mencirikan menurunnya kepedulian terhadap norma-norma non ekonomi yang bersipat nasional atau tradisional, yang selama ini berlaku secara legal dalam wilayah negara ataupun yang telah lama mengakar dan membudaya dikalangan masyarakat umum.

Realitas globalisasi ekonomi. Perdagangan bebas, DR. Daly menunjukkan secara menyakinkan mengapa perdagangan bebas tidak dapat dijadikan resep untuk mengobati serba penyakit kita. Justeru sebaliknya, perdagangan bebas itu niscaya mengakibatkan kerusakan ekologik dan kerusakan ekonomi. Perdagangan bebas itu telah lama dianggap sebagai sesuatu yang baik kecuali ada bukti yang sebaliknya. Anggapan ini diberlakukan sebagai prinsip dasar dari GATT dan NAFTA. Doktrin negosiasi dari putaran Uruguay memperkuat komitmen dasar GATT pada perdagangan bebas dan globalisasi ekonomi. Sekarang, anggapan itu seharusnya dibalik. Posisi pola pikir yang salah tersebut, seharusnya dibalik sehingga mendorong terwujudnya produksi domistik untuk pasar domentik. Sesuai dengan kebutuhan, perdagangan internasional yang seimbang dapat digunakan, tetapi penggunaannya jangan sampai dibiarkan berdampak mengendali penyelenggaraan pemerintahan suatu negara sampai ia bersedia menempuh resiko rusaknya lingkungan dan kehidupan sosial. Diibaratkan: ekonomi domistik sebagai gajah, maka perdagangan internasional adalah ekornya. GATT berusaha mengikat semua ekor gajah demikian ketatnya menjadi satu, sehingga ikatan internasional tersebut mampu mengendalikan tiap gajah nasional.

Globalisasi ekonomi telah membuat kita lupa akan adagium bahwa : ekonomi adalah alat untuk melayani kebutuhan masyarakat. Prinsip dari perdagangan bebas global adalah semua komoditi dapat dibuat dimana saja dan juga dapat dijual dimana saja didunia. Berhubung dengan itu, ekonomi itu harus ditundukkan oleh tipe persaingan baru. Sebagai misal dapat dikemukakan: dua perusahaan, satu di negara maju, dan lain di Indonesia. Dua-duanya membuat produk yang sama, yang akan dijual dipasar yang sama, umpanya Amerika Serikat : dua-duanya menggunakan teknologi yang sama, dua-duanya mempunyai akses ke pusat keuangan yang sama. Satu-satunya perbedaan diantara mereka berdua adalah perusahaan Indonesia dapat memperkerjakan lima puluh orang dengan jumlah upah yang hanya cukup untuk seorang pekerja Amerika. Tanpa perlu menjadi ekonom, tiap orang dapat memahami apa akan terjadi dalam kasus yang demikian. Niscaya suatu kesalahan besar, untuk menetapkan kebijaksanaan ekonomi yang akan membuat anda kaya, apabila anda mengabaikan tenaga kerja sebangsa dan menstransfer produksi keluar negeri yang upah buruhnya rendah, dan akan membuat anda bangkrut apabila anda melanjutkan memperkerjakan tenaga kerja sebangsa. Jadi, globalisasi ekonomi meniscayakan perusahaan internasional yang menang, dan rakyat banyak yang kalah.

Sukses untuk siapa? Dalam tahun-tahun terakhir masa jabatan Mo Namora sebagai Direktur Bank Dunia, pinjaman sesuai struktural (Structural Adjustment Loans, disingkat SALs) mulai dibuka bagi negara penghutang. Artinya negara yang mengalami kesulitan dalam membayar kembali hutangnya pada Bank Dunia, mendapat kelonggaran untuk menjadwal kembali (rescheduling) pengembalian hutangnya, asal bersedia menyesuaikan struktur ekonomi nasionalnya pada berbagai kehendak yang diajukan Bank Dunia. Rasionya agar pertumbuhan ekonomi yang berlanjut dari negara penghutang bisa ditumbuhkan demi terbayarnya kembali hutang. Tujuan yang lebih mendasar dari SALs adalah dalam jangka pendek menyelamatkan Bank-Bank dari negara maju yang telah terlalu luas peranannya di negara ketiga, sedang tujuan yang lebih jauh adalah makin teritegrasinya negara selatan kedalam sistem ekonomi dunia yang didominasi oleh utara. Untuk mencapai tujuan kembar ini, IMF dan Bank Dunia sebagai lembaga penuntut komitmen negara peminjam pada terlaksananya perubahan struktural ekonomi nasional, yang melibatkan pengeluaran cepat bantuan keuangan (SALs), atau pinjaman siaga (Stanby loans) yang rentenya dibayarkan ke Bank Swasta yang menjadi krediturnya. Untuk mendapatkan SALs, pemerintah dari negara selatan harus menyetujui Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program, disingkat SAPs) yang dipersyaratkan oleh Bank Dunia atau IMF, Karena program penyesuaian struktural itu meliputi demikian banyak dimensi dari kebijaksanaan ekonomi, berarti mengalihkan kedaulatan ekonomi nasional pada Bank Dunia atau IMF.

Globalisasi Politik. Runtuhnya tembok Berlin yang kemudian diikuti terpuruknya perekonomian Rusia telah mendorong munculnya ”keyakinan” bahwa pada dasarnya sistem dan nilai (values) Barat adalah lebih unggul debandingkan dengan apa yang dimiliki Timur. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa kemudian demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) mendunia dalam bentuk gelombang besar demokrasi dan upaya penghormatan HAM ke seluruh penjuru dunia seakan akan tidak terbendungnya lagi. Sedemikian besar momentem dan dampak yang ditimbulkannya sehingga terlupakanlah prasyarat utama yang diperlukan agar keduanya tidak berubah menjadi racun pemecah belah masyarakat bangsa berkembang, yaitu tegaknya hukum dan perundang-undang (law and order). Di negara-negara berkembang yang kondisi penegakan hukumnya belum mantap, seperti halnya di Indonesia, pratek demokrasi dan penerapan penghormatan HAM telah berubah wajah menjadi pemaksaan yang kadang-kadang hingga menyerupai satu bentuk tirai (R.M Sunardi hal 217).

Demikian keadaannya apabila ingin menerapkan satu ide atau nilai asing tanpa memperhatikan prasyarat yang diperlukan serta kondisi setempat terutama budaya dan psikologi masyarakatnya. Gerakan spontan menentang globalisasi seperti yang terjadi di Seattle dan Davos pada saat sidang World Trade Organization (WTO) adalah contoh konkret dari tuntutan untuk mengendepankan kepentingan nasional. Dalam pandangan mereka yang bergerak di Seattle maupun Davos globalisasi dianggap sebagai sesuatu pemaksaan persaingan dan kepentingan pada tingkat global. Dalam kenyataan, pada tingkat setinggi atau seluas itu hanya yang kuat sajalah yang mampu bermain, baik secara politis maupun ekonomis, karena mereka memiliki Soft dan hard power yang tidak tertandingi lagi. Pada kenyataannya persaingan bebas hanya mungkin berlangsung di antara mereka yang berkemampuan berimbang. Tanpa perimbangan yang terjadi adalah penindasan atau marginalisasi bagi mereka yang hanya memiliki kemampuan terbatas.

Lembaga keuangan internasioanal, semacam Internasional Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, Lembaga Hak Asasi Manusia, PBB dan sebagainya telah pula muncul sebagai pelaku hubungan internasional. Dalam banyak hal mereka telah menjadikan dirinya memanfaatkan globalisasi dan demokrastisasi mereka dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dari negara berkembang secara lansung dan telanjang. Demikian pula halnya perusahaan multinasional, seperti halnya bagaimana perusahaan-perusahaan minyak raksasa digunakan sebagai alat permainan politik Barat di Timur Tengah, sebagaimana dituturkan oleh Anthony Sampson dalam bukunya yang berjudul ”The Seven Sisters”. Di Indonesia sendiri kita saksikan hal serupa dalam kasus Perusahaan Listrik Negara (PLN) melawan Investor Proyek Paiton.

Aspek Sosial Budaya. Globalisasi juga menyentuh pada hal-hal yang mendasar pada kehidupan manusia, antara lain adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM), melestarikan lingkungan hidup serta berbagai hal yang menjanjikan kemudahan hidup yang lebih nyaman, efisien dan security pribadi yang menjangkau masa depan, karena didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak yang timbul diakibatkannya ikatan-ikatan tradisional yang kaku, atau dianggap tidak atau kurang logis dan membosankan. Akibat nyata yang timbul adalah timbulnya fenomena-fenomena paradoksal yang muaranya cenderung dapat menggeser paham kebangsaan/nasionalisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan meningkatnya tanggapan masyarakat atas kasus-kasus yang terjadi dinilai dengan didasarkan norma-norma kemanusiaan atau norma-norma sosial yang berlaku secara umum (Universal internasional). Sedang dilain pihak, menurunnya tanggapan pada kasus-kasus yang sama dinilai dengan didasarkan pada norma-norma yang telah kita sepakati bersama dan berlaku baik secara lokal kedaerahan maupun nasional.

Berbagai kecenderungan sosial budaya pada awalnya bergulir sebagai dampak terjadinya fenomena ”dunia tanpa batas” yang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi. Tiap kejadian, pertunjukan, pertandingan dan lain sebagainya dimanapun berlangsung serta merta dapat disuguhkan diruang keluarga pada setiap negara. Selain itu hadirnya internet telah memungkinkan setiap orang (dengan fasilitas tertentu) dapat mengkaitkan diri dalam jaringan dunia. Dengan demikian, media massa ataupun internet secara ”halus” telah menduniakan masyarakat bangsa dari segi persepsinya, pandangannya, bahkan kemudian visi dan tata laku sosialnya. Maka yang terjadi, pada hemat penulis bukanlah ”clash of civilization” melainkan “Clash of local norms and global culture”. Didalam dinamika tarik menarik antara keduanya terdapat kecenderungan dimenangkan oleh nilai global culture, setidak-tidaknya di kalangan generasi muda pada umumnya, bukan karena upaya pewarisan sistem nilai nasional yang kurang jalan akan tetapi karena global culture mereka pandang sebagai simbul kehidupan modern yang memberikan harapan. Misalnya saja, tingkah laku para penonton yang menyaksikan konser musik rock atau musik pop cenderung serupa, dimanapun konser itu diadakan, demikian pula busana yang mereka pakai. Itulah nampak luar aksesoris dari budaya global ( R.M. Sunardi hal. 222).

Memang harus diakui bahwa salah kemapuan budaya adalah menyubversi budaya lain. Di sini permasalahan tentang kualitas ketahanan budaya menjadi amat relevan untuk dicermati, mengingat sejarah umat manusia telah cukup memberikan bukti bahwa kehancuran satu bangsa hampir selalu diawali oleh degradasi budaya yang tidak terbendung. Masalah kita sekarang adalah apakah cukup momentum untuk membendung subversi budaya global yang berdampak negatif.

Sungguhpun demikian, banyak pula segi positif dari budaya global tadi misalnya saja semangat bersaing secara fair yang pada ujungnya mendorong terbentuknya etos kerja yang lebih merata, kemampuan mencari peluang di dalam dan di luar negari, dan, lahirnya tata laku cosmopolitan. Itu semua akan menghantarkan masyarakat bangsa lebih mapan hidup dialam modern masa depan sehingga tidak mudah dimarginalisasikan oleh perkembangan dunia yang cepat.

GLOBALISASI BERDASARKAN PANCASILA

Dalam perkembangan dunia yang serba modern seperti saat ini bangsa Indnesia dihadapkan dengan tantangan yang semakin besar dan kompleks sejalan dengan semakin derasnya arus perubahan dan kuatnya dampak globalisasi. Kondisi tersebut mau tidak mau dan suka tidak suka dapat berakibat negatif terhadap cara pandang bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Benteng terkuat untuk menangkal segala bentuk baik ancaman maupun pandangan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa tersebut tentu dengan tetap berpegang teguh pada pandangan hidup bangsa Indonesia. (R. Soeprapto hal 165).

Sejatinya, perubahan sosial yang terjadi akibat globalisasi dipandang sebagai upaya bangsa untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri melalui penyesuaian dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat modern. Atau dengan kata lain, dengan kepribadiannya sendiri, bangsa dan negara Indonesia berani menyosong dan memandang pergaulan dunia, tetapi kendati hidup diantara pergaulan dunia, bangsa dan negara Indonesia tak mesti kehilangan jati diri bangsa yang tumbuh diatas kepribadian bangsa lain, mungkin saja memandang kemajuan, tetapi kemajuan akan membuat rakyat menjadi asing dengan dirinya sendiri seperti yang terjadi saat ini di mana rakyat tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Mereka kehilangan jati diri yang sebenarnya sudah jelas tergambar melalui nilai-nilai luhur yang tergantung dalam Pancasila. Rakyat dan bangsa yang kehilangan jati dirinya sendiri senantiasa berada dalam kegelisaan sehingga akhirnya menjadi lunak dan mudah menjadi mangsa bangsa lain.

Peran Pancasila. Bangsa dan rakyat Indonesia sangat patut bersyukur bahwa founding fathers telah merumuskan dengan jelas pandangan hidup bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang dikenal dengan nama Pancasila. Bahwa Pancasila telah dirumuskan sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, Pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia. Juga sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia.

Karena itu, Pancasila tak bisa terlepas dari tata kehidupan rakyat sehari-hari mengingat Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita moral yang meliputi seluruh jiwa dan watak yang telah berurat-berukar dalam kebudayaan bangsa Indonesia sejak dahulu kala telah menegaskan bahwa hidup dan kehidupan manusia bisa mencapai kebahagian jika dikembangkan secara selaras dan seimbang baik dalam pergaulan antar anggota masyarakat selaku pribadi, hubungan manusia dengan komunitas, hubungan dengan alam, maupun hubungan Sang Khalik.

Gelombang globalisasi. Dalam sejarah perkembangannya, menurut para ahli, globalisasi merupakan suatu mata rantai yang mempunyai persentuhan proses dengan kolonialisme dan imperilaisme di abad ke-16 sampai abad ke-19, modernisasi di abad ke-20. Kecanggihan teknologi komunikasi, informasi, dan trasportasi, mendorong globalisasi mengalami percepatan yang luar biasa pesatnya. Menurut Anthony Giddens (1999), globalisasi telah melahirkan ruang sosio-kultural yang spektakuler dalam hubungan antara bangsa dan interkoneksi yang melampui batas-batas geografis dan kedaulatan negara.

Dalam kaitan ini, penetrasi globalisasi membawa tiga dampak signifikan. Mulai meluntur dan mengendurnya ikatan-ikatan negara bangsa sebagai hasil dari pergaulan antara kedaulatan negara versus kapitalisme global. Pola tekanan globalisasi cenderung mengarah pada integrasi sosial budaya di bawah naungan kultur Barat sebagai kultur yang dominan. Saat ini bangsa Indonesia tengah menghadapi arus ganda persoalan seputar identitas nasional kebudayaanya. Di satu sisi, harus menghadapi gempuran gelombang globalisasi yang membawa peradaban universal (universal civilization) beserta dampak ikutan lainnya, seperti uniformitas, homogenisasi, westernisasi, dan hegemoni budaya. Disisi lain, tengah berhadapan dengan masalah-masalah internal dalam kebudayaannya sendiri baik yang muncul sebagai akibat dinamika nasional maupun persentuhannya dengan penetrasi globalisasi. Contoh dari gejala ini munculnya radikalisme etnik yang cenderung mengarah pada disintegrasi bangsa.

Melihat dua kenyataan dilematis tersebut, maka diperlukan suatu format baru dalam menata kembali konstelasi budaya lokal Indonesia yang terbungkus dalam ideologi negara Pancasila yang sayangnya saat ini tengah carut-marut dan tercerabut. Karena itu, multikulturalisme (plural culture) dan konsep ideologi terbuka seharusnya dijadikan paradigma baru mengantikan konsep masyarakat majemuk semu yang selama ini diterapkan rezim militer Orde Baru. Multikulturalisme dan konsep terbuka merupakan sesuatu strategi dari integrasi sosial dimana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isue separatisme dan disintegrasi sosial.

Memang era keterbukaan global telah membuka peluang bagi masuknya berbagai faham dan ideologi asing di luar Pancasila dan sistem politik dari luar Indonesia. Dan sebagai akibatnya, alam berfikir para elite politik dan sebagai genenarasi muda turut terpengaruh di dalamnya. Adanya gejala mulai meninggalkan atau setidaknya tak lagi menaruh kepedulian terhadap Pancasila dan adanya amandemen total UUD 1945 menjadi pertanda betapa kuatnya pengaruh globalisasi di bidang ideologi dan politik nasional.

Di era global ini pula kejahatan organisasi kelas internasional demikian mudahnya masuk ke setiap negara, khususnya Indonesia, melakukan link-up dengan organisasi-organisasi kejahatan lokal dengan modus operandi baru yang lebih canggih. Lihat saja betapa maraknya peredaran narkoba di Indonesia. Bahkan, akibat pengaruh global, Indonesia kini bukan hanya sebagai negara transit, tetapi telah menjelma sebagai negara produsen narkoba. Demikian pula dengan jaringan terorisme internasional yang kian canggih dan rapi dalam merencanakan, mempersiapkan, mengkoordinasikan, serta melaksanakan aksi-aksi teror di Indonesia. Berbagai aksi pemboman menjadi bukti nyata betapa teroris telah masuk ke dalam relung kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia

Derasnya arus pengaruh budaya dan gaya hidup dari luar yang masuk ke dalam kehidupan rakyat Indonesia semakin sulit terbendung sebagai efek terbukanya akses informasi dan komunikasi serta transportasi yang semakin luas dan cepat. Kekurang pedulian para penyelenggara negara dan tokoh masyarakat dalam memilihara serta mengembangkan nilai-nilai budaya dari luar yang negatif dalam kehidupan sehari-hari. Merebaknya penyalahgunaan narkoba, peredaran pornografi, pelanggaran susila, tindak kejahatan anak-anak dan remaja, pratek perjudian yang dilindungi oknum aparat, gaya hidup serba bebas tanpa peduli norma agama serta norma budaya dan kepribadian bangsa, terasa kian kental mewarnai suasana kehidupan masyarakat di perkotaan dan bahkan telah mulai menembus di pedesaan.

Bola salju Globalisasi. Kuatnya pengaruh bola salju globalisasi yamg meluncur dengan derasnya sambil membawa muatan kebebasan dan persaingan bebas mengakibatkan rakyat dan bangsa Indonesia seperti terkena goncangan kultural dan tampaknya belum cukup siap untuk menghadapi bangsa Indonesia menjadi bingung dan limbung serta muncul berbagai bentuk sikap isolatif dan protektif yang berorientasi pada primordialisme sempit. Dalam konteks nasional, di satu sisi, bisa melunturkan kesadaran dan semangat nasionalisme, sedangkan di sisi lain melahirkan sikap anti asing yang berbau asing,

Sungguh amat dilematis dan memprihatinkan. Semestinya bangsa Indonesia bisa menyikapi globalisasi dengan tenang, tegas, bijaksana, dan selektif, jika kadar keyakinan bangsa cukup kuat dan mantap. Nilai global yang berpengaruh positif dan menguntungkan kepentingan nasional hendaknya diambil. Sedangkan nilai berpengaruh negatif serta merugikan kepentingan nasional hendaknya ditolak dengan tegas, dengan argumen yang kuat, tanpa berlagak gensi atau takut.

Bukankah negara yang suka berteriak kebebasan justru memberlakukan peraturan yang ketat di dalam negaranya demi keamanan nasionalnya. Bukankah negara yang suka kencang berteriak HAM justeru getol melakukan pelanggaran HAM di negerinya sendiri dan bahkan dinegeri lain. Bangsa Indonesia harus bersikap tegas dan luwes dalam mengahadapi globalisasi. Jangan sampai kepentingan nasional malah menjadi korban hanya demi alasan globalisasi. Kepentingan nasional harus diletakan di atas semua kepentingan yang ada baik kepentingan individu dan kelompok maupun kepentingan global.

Di saat krisis seperti saat ini bangsa Indonesia, bahkan para pemimpin nasional. Telah kehilangan pegangan, dan hanyut terombang-ambing derasnya arus perubahan yang tak mampu dikelola dengan baik dan bijaksana. Tak jelas akan terbawa arus menuju kemana dan sampai kapan kondisi ini akan terus berlangsung. Pada hal sebagai bangsa Indonesia memiliki rambu-rambu yang mengarahkan perjalanan bangsa, serta memiliki ideologi negara sebagai pemberi arah dalam meraih cita-cita nasional. Landasan berpijak, rambu-rambu, dan arah yang hendak dituju tak lain adalah Pancasila yang digali oleh faunding fathers sebelum proklamasi kemerdekaan RI.

Upaya pemantapan pemahaman terhadap Pancasila menjadi penting dan mendesak justeru ketika bangsa Indonesia dilanda krisis dan terkesan kehilangan pegangan seperti sekarang. Tetapi, saat ini, kedudukan Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa sedang terjepit oleh ancaman dari dua sisi. Di satu sisi, ancaman neo-liberalisme yang mendewa-dewakan kebebasan dan HAM dengan atas nama demokrasi bagi rakyat yang bebas merdeka. Di sisi yang lain, ancaman dari neo-komunisme yang mengatasnamakan demokrasi bagi rakyat kecil yang tertindas.

Kurangnya pemahaman terhadap ideologi Pancasila yang sekaligus juga jati diri bangsa sungguh sangat berbahaya bagi kelangsungan perjalanan bangsa ke depan. Misalnya saja pemahaman keliru tentang HAM yang diwujudkan dalam sikap hanya ingin menuntut haknya sendiri tanpa mempedulikan hak orang lain yang dilanggarnya dalam upaya memperjuangkan atau menuntut haknya. Sikap seperti itu jelas bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab, dan norma hukum. Bahkan, bertentangan dengan ajaran agama manapun.

Juga dalam kehidupan berdemokrasi, sesungguhnya penyelenggara kehidupan demokrasi melalui badan perwakilan merupakan ciri demokrasi modern yang berbeda dengan sistem demokrasi primitif yang tidak menggunakan cara perwakilan. Asas musyawarah sarat dengan muatan wintvin solution synergetic (pola hubungan timbal balik yang saling mengisi atau saling percaya yang berlandasan pada semangat kerja sama yang kokoh dan rasa kepercayaan yang tinggi bagi tercapainya kekuatan dan ketangguhan. Oleh karena itu upaya pemantapan ideologi dilakukan secara serius dan konsisten oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Caranya melalui berbagai alur seperti metode pendidikan, komunikasi-informasi, pertunjukan seni, simulasi-simulasi dan keteladanan.

PANDANGAN FILSAFAT PANCASILA TENTANG GLOBALISASI

Filsafat Pancasila sebagai olah berpikir, filasafat itu diartikan sebagai "the art of thinking thing through" (George Thomas White Patrrrick, "Introduction to Philosophy" George Allan & Onwin Ltd, London, 1925, hal,5). Dalam pengertian ini, kita melibatkan diri dari dalam berpikir secara logik, sistematik, dan persistem, mengenai subyek yang kita pelajari. Pancasila yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 adalah dalam kualifikasinya sebagai ideologi. Yang dimaksud dengan "ideologi" adalah "seperangkat nilai intrinsik yang diyakini kebenarannya, dijadikan dasar menata masyarakat dalam menegara" Ideologi itu bersumber pada filsafat tertentu. Ideologi Liberalisme bersumber pada Filsafat Individualisme. Ideologi Komunisme bersumber pada Filsafat Materialisme. Pancasila sebagai ideologi bersumber pada Filsafat yang juga dinamakan Filsafat Pancasila.

Hubungan hirarkhik antara ideologi dan filsafat ialah Ideologi adalah jabaran langsung satu tingkat lebih rendah (next lower level) dari filsafat. Ideologi Pancasila tersusun oleh lima buah sila yang rumusannya pendek padat. Untuk memahami isi kandungan dari tiap sila, kita perlu berwidyawisata ke Filsafat Pancasila. Dengan mengacu pada pengertian filsafat seperti yang telah disebut di muka, kita menjadi tahu bahwa sila-sila dari ideologi Pancasila itu masing-masing adalah jawaban hakiki dari pertanyaan mendasar tertentu. Dengan mengetahui jawaban hakikinya yang berupa sila-sila dari ideologi Pancasila, dan proses penalaran metafisik kita dapat mengindentifikasi pertayaan mendasarnya.

Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Alam Semesta. Pertayaan mendasar : Alam semesta itu apa?.

Mempelajari alam semesta secara reflektif, yang pertama kali kita temui adalah konsep "fenomen". Yang dimaksud dengan fenomen ialah tiap hal yang eksisten dalam alam semesta. Fenomen sebagai sesuatu yang eksisten, secara logik mesti mempunyai embanan (mission) tertentu, sebab bila tidak, untuk apa ia eksisten.

Dalam alam semesta terdapat fenomen yang tidak terhitung jenisnya, seperti benda padat, cair, gas, getaran, angin, sinar, udara, makluk, tumbuhan, berukuran sekecil proton sampai sebesar planet, dan tiap fenomen memiliki embanan tertentu. Kita bertanya bagaimana kedudukan antar embanan itu? Apakah tiap embanan mandiri berdiri sendiri, terlepas dari embanan lain? Bila memang demikian keadaannya, sedang fenomen-fenomen itu berada dalam ruang dan waktu yang sama, maka dengan sendirinya untuk saling berbentur dan saling meniadakan hanyalah soal saat. Bila demikian, untuk apa fenomen-fenomen itu eksisten apabila hanya untuk sesaat ? Oleh karena itu, yang lebih mungkin adalah adanya relasi tertata antar fenomen beserta embannya. Refleksi lebih lanjut, menghasilkan sesuatu fenomen yang berwujud suatu pengetahuan (knowledge) seperti berikut ini :

Ternyata dalam alam semesta itu: Segenap fenomen yang saling bertautan (relevant), secara alami merakit diri; rakitannya berjenjang; jenjangnya berhirarki, membentuk seluruhan integralistik. Seluruhan integralistik itu sendiri terterapi hukum, jenjang dan hirarki, yang berlaku ke atas maupun ke bawah. (Abdulkadir Besar, Polemologi Indonesia hal, 16 a).

Tiap fenomen selalu merupakan bagian dari seluruhan pada jenjangnya; seluruhan ini pada gilirannya merakit diri dengan segenap seluruhan lain yang sejenjang dan saling bertautan, membentuk seluruhan pada jenjang yang lebih atas lagi, dan seterusnya tak terhitung. Tiap seluruhan selalu tersusun oleh sejumlah bagian (fenomen) yang sejenjang dan saling bertautan. Tiap bagian selalu merupakan seluruhan pada jenjang yang bersangkutan yang pada gilirannya memiliki sejumlah bagian yang saling bertautan pada jenjang yang lebih bawah, dan seterusnya tak terhingga.

Keorganisasian segenap fenomen yang mengikuti saling bertautan organik, berjenjang. Berhirarkhi, yang membentuk seluruhan integralistik pada tiap jenjang ini, ternyata merupakan matikan - eksistensi alam semesta (logik eksistensi alam semesta). Matikan - eksistensi ini yang memungkinkan alam semesta eksisten, dan sekali alam semesta telah eksisten, ia berfungsi sebagai pemelihara eksistensi alam semesta.

Mantikan Eksistensi Alam Semesta (MEAS) itu mengandung sejumlah tesis - ontologik berikut ini :

1. Dalam alam semesta, tidak ada sebuah fenomen pun yang mandiri berdiri sendiri terlepas dari fenomen lain.

2. "Ada" itu memberi.

Antara dua atau lebih fenomen yang saling tergantung (interdependen) itu bisa ada dan bisa lestari ada, hanya dengan perantara antaraksi saling memberi. Jadi, ada itu memberi. Sama benarnya dengan pernyataan bahwa tidak ada itu tidak memberi. Memang, sesuatu yang tidak ada tidak mungkin memberi. Ada itu memberi.

3. sesuatu itu benar apabila ia sesuai dengan sesuatu seluruhan kaitan-kaitan tertentu yang membentuk sesuatu itu;

4. dan yang benar apabila kesesuaian itu tidak ada.

Matikan eksistensi alam semesta, yang demikian sempurna, terorganisasi secara rapi, presisi, tanpa salah, dan tak pernah salah itu, menunjukkan dengan mutlak bahwa ia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai ciptaan Tuhan, mantikan eksistensi itu mengandung amanat Tuhan : apabila manusia sebagai salah satu fenomen dalam alam semesta ingin hidup bahagia dan selamat, sewajarnya mendekatkan diri pada Tuhan YME untuk mendapatkan ridho-Nya, dengan jalan ibadah, dan beramal dengan jalan berpikir, bersikap, dan bertingkah laku sesuai dengan matikan eksistensi alam semesta. Beribadah dan beramal sedemikian itu, dalam filsafat Pancasila membutir menjadi sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Manusia. Pertayaan mendasar Manusia itu siapa?

Pandangan filsafat Pancasila mengenai "siapa manusia itu" terkandung di dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab". "Adil" itu menunjukkan pada manusia sebagai makluk individu, dan "beradab" menunjukan pada manusia sebagai makhluk sosial. Dalam sila inilah pandangan Pancasila tentang manusia terungkap secara khas dan jelas, yakni : manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial, yang di dalamnya terkandung pengakuan adanya relasi saling-tergantung antar manusia.

Kehidupan bersama antar manusia yang saling tergantung itu bisa terselenggara dan bisa lestari terselenggara, hanya apabila antaraksi antar manusia itu bersifat saling-memberi.

Refleksi lanjutan dari antaraksi saling-memberi ialah bahwa tugas hidup manusia adalah apriori memberi kepada lingkungan, termasuk manusia lain. Untuk hidup, tiap fenomen termasuk manusia, dari dalam dirinya sendiri merasa wajib memberi. Tujuan dari memberi ialah demi terpeliharanya eksistensi yang diberi, lebih persis lagi : demi obyek yang diberi, agar ia pada gilirannya selaku subyek mampu memberi sesuatu kepada obyek yang lain lagi. Memberi demi kepentingan diri hakekatnya adalah meminta.

Saling memberi antar banyak subyek menghasilkan suatu seluruhan yang nilainya lebih besar dari pada penjumlahan tiap berian dari tiap subyek. Dengan demikian, memberi sesuatu itu tidak kehilangan sesuatu, karena tiap subyek berkat perbuatannya memberi, dengan sendirinya mendapatkan berian kembali dari seluruhan yang lainnya lebih tinggi dari apa yang ia berikan. Dua atau banyak subyek yang saling-tergantung terpelihara eksistensinya oleh seluruhan yang dibangun sendiri oleh para individu subyek melalui antaraksi saling-memberi.

Pandangan Filsafat Pancasila Tentang Masyarakat. Setelah kita mengetahui siapa manusia itu, terdapat pertanyaan lanjutan: bagaimana pendapat filsafat Pancasila mengenai masyarakat?.

Pengertian dasar mengenai masyarakat ialah: kebersamaan hidup antar dua sampai banyak manusia. Masyarakat bisa ada hanya apabila antaraksi antar individu warganya saling-memberi. Saling-memberi antar warga menghasilkan kebersamaan hidup. Kebersamaan hidup merupakan kepentingan-seluruhan dari tiap individu warganya. Kepentingan individu warga terpenuhi oleh kepentingan seluruhan masyarakat. Kondisi kebersamaan hidup yang demikian itu dapat di angkat menjadi definisi: masyarakat adalah kebersamaan hidup antar sejumlah orang yang terselenggara melalui antaraksi saling memberi.

Dalam pengertian ini, individu warga memandang masyarakat bukan sebagai lembaga yang secara hirarki berada di atas dirinya. Masyarakat adalah diri individu manusia itu sendiri yang secara alami terkait dengan manusia lainnya, yang melalui interaksi saling memberi membentuk kebersamaan hidup yang dinamai masyarakat. Oleh karena itu dalam menjalankan tugas bagi masyarakat, individu warga tidak merasakannya sebagai beban atau merasa berkorban. Sebaliknya masyarakat tidak pernah menganggap individu warganya sebagai makhluk yang berada diluar dirinya, melainkan sebagai sumber genetik dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, masyarakat tidak pernah mempunyai kepentingan sendiri yang berhadapan dengan kepentingan individu warganya. Satu-satunya kepentingan adalah kepentingan dari keseluruhan individu warganya. Oleh karena itu, secara alami antara individu warga dan masyarakat tidak pernah terdapat pertentangan kepentingan.

Pancasila Sebagai Ideologi Modern. Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, secara tegas menguraikan bahwa Pancasila telah digali dan didasari oleh evolusi budaya bangsa selama berabad-abad. Kemudian Bung Karno menyusunnya secara ilmiah rasional sehingga terlihat betapa Pancasila mengandung nilai-nilai universal. Itulah sebabnya mengapa Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi modern. Suatu ideologi dikatakan modern bila mengandung nilai-nilai universal dan dapat menjawab persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat dalam demensi waktu yang berbeda. Berbeda dengan Pancasila, nilai-nilai yang terdapat pada komunisme tidak universal dan lebih bersifat konfrontatif dengan mempertentangkan kelas di dalam masyarakat dan lebih menguntungkan kelas tertentu dalam masyarakat itu.

Ideologi Pancasila itu, meskipun secara historik berkategori ideologi partikuler, yaitu sebagai dasar dari negara Indonesia merdeka, muatan moral dan cita-citanya adalah universal.

Ideologi Pancasila itu, meskipun muatan moral dan cita-citanya bersifat universal, sifat hakikat universalnya justeru memposisikan Negara Indonesia Merdeka sebagai salah satu dari pluralitas alami di antara semua negara merdeka lainnya di dunia. Tiap bangsa yang memproklamasikan berdirinya negara barunya, membutuhkan pengakuan dari negara lain. Pengakuan tiap negara terhadap kemerdekaan negara lain, selain bersifat sebagai pengakuan politik, juga mengandung pengakuan bahwa negara lain itu berkualifikasi positif terhadap eksistensi dirinya, atau terpaksa mengakui sebagai kebijakan politik demi memperkecil dampak negatif terhadap eksistensi dirinya. Pengakuan negara yang satu terhadap kemerdekaan negara yang lain, atas pertimbangan yang manapun dari dua pertimbangan termaksud, berpasangan dengan kebutuhan negara baru akan pengakuan dari negara lain, menunjukan adanya relasi saling-tergantungan antarnegara.

Ideologi Pancasila secara ontologik mengakui realitas alami tentang saling-ketergantungan antar pluralitas. Berdasarkan itu, dalam dimensi antar bangsa in casu antar negara, moral dan cita-cita universal yang terkandung di dalam ideologi Pancasila mengungkapkan diri sebagai fungsi-negara keempat dari Republik Indonesia ”ikut menegakkan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” seperti tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.

Faham Ketertiban Dunia ini menurut penggagasnya Ir. Sukarno, pada waktu memaparkan filosofische grondstag yang ia usulkan untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia Merdeka, ia lukiskan sebagai berikut ini : ”Nasionalisme bisa hidup hanya apabila ia berada dalam tamansarinya internasionalisme, dan Internasionalisme bisa hidup hanya apabila ia berakar dalam buminya nasionalisme.

Peryataan Ir. Sukarno tersebut merupakan peryataan pengakuan saling-ketergantungan eksistensi antar nasionalisme dan internasionalisme, dalam rangka Ir. Sukarno mencegah jangan sampai bangsa (nasionalisme) Indonesia dalam menyelenggarakan negara Indonesia Merdeka bersikap chauvinis seperti nasionalismenya bangsa Jerman dengan sasantinya ’Deutschland uber alles’.

Dengan ungkapan lain peryataan tersebut merupakan peryataan pengakuan saling-tergantungan antarbangsa dan antarnegara jawaban satu-satunya terhadap kondisi alami ini adalah kerja sama saling-memberi sesuatu sesuai kemampuan tiap bangsa demi terwujudnya Ketertiban Dunia, yang satu pihak mengakui pluralitas yang berwujud kemerdekaan tiap bangsa dalam wujud negara-bangsa (nation state), di lain pihak karena antarbangsa secara alami saling-tergantung interaksinya yang niscaya dan memadai demi terpeliharanya eksistensi tiap bangsa yang bersangkutan, adalah saling memberi yang diproyeksikan untuk menghasilkan keadilan sosial antarbangsa, dan demikian perdamaian antarbangsa terjaga berlangsungnya, perdamaian antarbangsa itu benar-benar abadi.

Sesungguhnya konsep demokrasi dan HAM telah tertanam lama dalam kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia. Sila-sila dalam Pancasila mengambarkan betapa nilai-nilai universal telah terakomodasi di dalamnya yang meliputi kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mupakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan. Rumusan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 1945 memberikan sifat yang khas pada negara Indonesia. Bahwa Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara, tetapi juga bukan negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara budi pekerti luhur berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dalam negara Pancasila, agama dan nasionalisme hidup dan berkembang di dukung oleh negara. Negara Pancasila menyatukan beragama kelompok yang bertentangan.

Dalam negara Pancasila, agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam kehidupan negara dan masyarakat seperti dalam sistem hukum dan budaya politik. Negara dapat menggunakan perspektif agama dalam batas-batas otoritas fungsional seperti menyediakan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkah laku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Prinsif yang perlu dikembangkan adalah peduli, tetapi tidak diskriminatif, bukan dalam artian tidak peduli sama sekali.

Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, pada intinya menegaskan persamaan hak dan kewajiban setiap orang secara gamplang mengandung penjelasan konsep HAM yang digembor-gemborkan dunia Barat. Sementara sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, secara tegas menjelaskan konsep demokrasi. Tetapi, demokrasi yang dimaksud di sini adalah demokrasi Pancasila yang berlandaskan musyawarah dan mufakat, bukan ala Barat yang menekankan keunggulan mayoritas atas minoritas. Sila keempat menjabarkan bahwa demokrasi Pancasila bukan berlandaskan kerakyatan dengan mencari suara terbanyak saja. Asas kerakyatan berhubungan erat dengan konsep HAM tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran seperti yang diatur dalam UUD 1945 pasal 28. Di samping itu, asas kerakyatan juga berhubungan dengan persamaan kedudukan sosial, ekonomi, dan budaya di antara warga negara.

KEHIDUPAN GLOBAL MENURUT FAHAM PANCASILA

Kondisi Kehidupan global Antar Bangsa. Terwujudnya kehidupan bangsa dalam rangka interkaitan yang saling bertautan melakukan interaksi saling memberi. Bila diantara negara yang ada, terdapat beberapa atau sejumlah negara yang dengan sengaja tidak melakukan interaksi saling memberi dengan negara pasangannya, maka akan terjadilah kondisi ketidak imbangan relasi antara negara yang menimbulkan ketegangan antara negara yang dapat merosot menjadi konflik terbuka dan memungkinkan pecahnya perang antar mereka (Abdulkadir Besar 1992).

Berdasarkan kondisi dinamik yang demikian itu, kita mengartikan kehidupan global dalam dua aspek. Aspek pertama mengandung arti suatu proses dan cara struktur “seluruh intergralistik” yang tersusun oleh rakitan fenomen secara berjenjang dan berherarkhi, yang nyata-nyata ada dalam alam semesta, dapat kita ketahui kondisi kehidupan antar bangsa yang keberadaannya juga dalam alam semesta, bisa terwujud hanya apabila kondisi termasuk berpadanan dengan itu.

Dalam kaitan dengan kehidupan global antar bangsa padanan dari fenomen-fenomen yang merakit diri dalam MEAS adalah kehidupan global antar bangsa yang saling tergantung selaku subyek yang berinteraksi saling memberi berdasarkan dengan tesis ontologik pertama yang dari MEAS yang mengajarkan bahwa : “Dalam alam semesta, tidak ada sebuah fenomenpun yang mandiri berdiri sendiri terlepas dari fenomen lain”.

Maka di dunia ini, tidak ada sebuah kehidupan global antar bangsa yang mandiri berdiri sendiri terlepas dari kehidupan global antar bangsa. Secara alami antar mereka terdapat relasi saling ketergantungan sesuai dengan tesis ontologik kedua yang menyatakan bahwa “ada” itu memberi. Antara dua atau lebih fenomen yang saling tergantung itu bisa ada dan bisa lestari ada, hanya dengan interaksi saling-memberi. Maka bila kehidupan global antar bangsa ingin melestarikan eksistensinya, hanya dapat mereka terwujudkan melalui interaksi saling memberi antar negara. Kondisi yang berisi antareaksi saling-memberi antar negara yang terselenggara secara terus menerus ini, oleh pembukaan UUD 1945 dikualifikasikan sebagai “Ketertiban dunia”.

Sesuai dengan tesis ontologik ketiga yang mengajarkan bahwa “Sesuatu itu benar, apabila ia bersesuaian dengan suatu seluruhan kaitan-kaitan tertentu yang membentuk sesuatu itu maka faham “kehidupan glogal antar negara" yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” adalah benar.

‘Kemerdekaan” menunjukan pada subyek yang berinteraksi saling-memberi. Dalam pengertian ini, disatu pihak kehidupan global antar negara sebagai subyek diakui sebagai pengemban kedaulatan maksimum, tetapi dilain pihak karena secara alami terdapat relasi saling tergantung, maka terpeliharanya kedaulatan maksimum tersebut, sampai tingkat tertentu tergantung pada terlaksananya kewajiban memberi dari negara-negara yang bertautan dengannya.

Mengenai kehidupan global antar negara yang didasarkan pada “kemerdekaan” yang identik dengan kedaulatan maksimum yang dimiliki oleh tiap kehidupan global ini, dalam polomologi versi barat dinilai sebagai mengandung kontroversi seperti berikut ini: menurut pandangan barat (Kontroversi oleh Starke hal 52) disatu pihak ketertiban dunia (World Order) hanya dapat direalisasi melalui bentuk tertentu dari otoritarinisme, yang dengan lain ungkapan adalah pemerintah dunia yang terpusat. Menurut Starke, “Centralizad World Goverment”, pada masa kini sepenuhnya merupakan lamunan belaka, karena dalam kenyataannya diantara negara-negara kuat banyak yang masih kokoh menganut faham bahwa: “dalam rangka pengelompokan - regional saja, reduksi terhadap kedaulatan negara harus sekecil mungkin”. Masih menurut starke, “masalah lain yang muncul ialah relasi antara pencapaian “Word Order” termasud disatu fihak dan perkembangan akseleratif sistem hukum internasional, di lain pihak. Sebuah teori menyatakan bahwa ketertiban dunia baru dimasa depan dapat diwujudkan hanya apabila telah terdapat kemajuan substansial mengenai peluasan (extension) dan penegakan (enforcement) dari hukum internasional, sedang menurut teori yang lain, kemajuan hukum internasional yang demikian itu, tergantung pada terealisasinya kehidupan global antar negara itu sendiri (Starke, op. Cit. P. 52).

Kita berpendapat, bahwa hukum-hukum yang terdapat didalam MEAS seperti antara lain tercermin oleh tiga tesis ontologik tersebut dimuka, bersifat imperatif bagi segenap umat manusia, termasuk pengelompokan manusia yang berwujud negara - kebangsaan.

Berdasarkan tiga tesis ontologik termasud, kita berpendapat bahwa : (1) Pemerintah dunia yang terpusat dan bersifat otoritarian, memang seyogyanya tidak diwujudkan, karena konsep itu mengandung konsekuensi – logik terhapusnya kedaulatan yang ada pada negara kebangsaan (Konsep “Word Order” sejenis ini, sebelumnya telah diajukan oleh Thomas Hobbes dengan “Negara Laviahan” nya dan oleh muritnya yaitu Roymon aron dengan konsepnya ia namai “Wold Imperium”).

Kedaulatan Maksimum Tetapi Saling -Tergantung. “Kemerdekaan” yang merupakan salah satu dasar dari faham Indonesia mengenai “ketertiban dunia” (seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945: “..... ikut melaksanakan keteriban dunia yang didasarkan pada kemerdekaan, perdaimaian abadi dan keadilan sosial”), disatu fihak mengandung faham kedaulatan maksimum, namun dilain fihak, adanya relasi alami saling - tergantung antar negara, maka terpeliharanya kondisi kedaulatan-maksimum termaksud, sampai tingkat tertentu tergantung pada terlaksananya kewajiban memberi dari negara atau sejumlah negara lain yang bertautan dengannya. Dengan kata lain, kedaulatan-maksimum yang dimiliki oleh tiap negara, adanya kalanya dalam interaksi tertentu dengan negara lain, menjadi “terkurangi”, namun “pengurangan” itu terjadi sebagai akibat dari perbuatannya sendiri, yaitu melaksanakan kewajiban memberi sesuatu kepada negara lain demi terpeliharanya sesuatu keseluruhan yang lebih tinggi nilainya, yaitu terpeliharanya kebersamaan hidup antar negara yang identik terpeliharanya kondisi ketertiban dunia.

Dalam kondisi kehidupan global yang terwujud berkat terselenggaranya interaksi saling-memberi antar negara tersebut diatas, terkuranginya kadar kedaulatannya, oleh para negara-kebangsaan tidak dirasakan sebagai beban yang ditimpakan kepadanya oleh kekuasaan duniawi buatan manusia, melainkan disadarinya sebagai hal yang alami dan karenanya tak terelakan demi terpeliharanya ketertiban dunia yang eksistensi dirinya bergantung padanya.

Dengan demikian, kedaulatan - maksimum yang oleh polemologi versi Barat dinilai sebagai hambatan yang mendasar terhadap terbentuknya “Wold Order” seperti antara lain yang dikemukakan oleh starke, telah terjawab oleh faham Ketertban Dunia yaitu bersifat integralistik yang dianut oleh bangsa Indonesia.

Pergaulan Internasional. Kehidupan masyarakakat menjadi bersifat individual, begitu pula mutates mutadis kehidupan antar bangsa dalam pergaulan internasional. Segenap subyek kehidupan, mulai dari manusia, masyarakat bangsa, sampai negara, dalam interaksinya didorong oleh kepentingan diri manusia, tak mengakui lagi adanya relasi-alami saling tergantungan antar subyek selama masa dua abad sejak terjadinya revolusi industri hingga menjelang akhir abad XX.

Peradabatan modern individualistik yang telah berlangsung selama dua abad ini, yang mencapai kualitas optimal formatnya sebagai peradaban era globalisasi, oleh teknologi informasi secara paradoxal di transformasi kembali menjadi peradaban yang berstruktur saling tergantungan alami antar manusia, antar bangsa, antar bangsa.

Orientasi global dan saling-tergantungan "I" terakhir temuan Ohmae adalah konsumen individual, tesis yang terkandung di dalam arus "I" ini adalah pada konsumen individual juga telah menjadi lebih global orientasinya. Melalui akses yang lebih baik ke informasi tentang gaya hidup di seputar jagad, makin menghendaki produk yang terbaik dan termurah, tidak peduli dari mana asalnya (Ohmae 1995 :40.)

Para pendiri Republik menyadari signifikansi visi tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Bahwa martabat manusia merupakan fondasi semua nilai moral dasar Pancasila. Prioritas negara berdasarkan Pancasila semestinya meningkatkan deminsi kemanusiaan rakyatnya. Sila kemanusiaan memanyungi sila kebangsaan agar nasionalisme tidak membuahkan pemerintahan dan rakyat yang diskriminatif berdasarkan ras atau etnis. Rasialisme dalam segala bentuk harus diakhiri karena melahirkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Jadi, nilai-nilai universal yang dibawa arus globalisasi saat ini sebenarnya tak lebih nilai-nilai Pancasila dalam artian yang luas. Cakupan dan muatan globalisasi telah ada dalam Pancasila. Karena itu, mempertentangkan ideologi Pancasila dengan ideologi atau faham lain tak lebih dari sekedar kesiaan belaka. Selain itu, selama masih terjadi pergulatan pada faham dan pandangan hidup, bangsa dan rakyat Indonesia akan terus berada dalam kekacauan berpikir dan sikap hidup. Menggantikan Pancasila sebagai dasar negara tidak mungkin karena faham lain tidak akan mendapat dukungan bangsa dan rakyat Indonesia. Pancasila dapat ditetapkan sebagai dasar negara karena sistem nilainya mengakomodasi semua pandangan hidup dunia internasional tanpa mengorbankan kepribadian bangsa Indonesia.

Ideologi Pancasila, sekali lagi, bukan berdasarkan atas faham liberalisme ataupun sosialisme-komunisme, serta bukan hasil kawinannya keduanya. Dalam Pancasila terkandung nilai-nilai universal yang berlaku bagi semua bangsa di dunia. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa pada umumnya manusia Indonesia bertuhan sesuai dengan agama yang dianutnya. Semua agama mengajarkan bahwa alam semesta beserta segenap hal yang eksis didalamnya, yang tak terhingga jumlahnya, adalah ciptaan Tuhan. Untuk selanjudnya, tiap hal yang eksis dalam alam semesta saya lekati sebutan "fenomen". Dalam alam semesta ada fenomen yang permanen dan ada yang durasi eksistensinya terbatas. Dalam pengertian ruang-waktu yang terbentang sekaligus berlangsung tak terhingga dalam alam semesta, setiap fenomen niscaya mengokupsi volume ruang tertentu dan sekaligus mengokupsi selama eksistensinya.

Konsep MEAS yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengungkapkan pengetahuan yang berkualitas sebagai tesis-ontologik pada nalar kita. Ada tiga tesis ontologik terungkap dari MEAS, yaitu :

1. Dalam alam semesta, tidak ada satu fenomenpun yang mandiri berdiri sendiri, terlepas dari fenomen lain.

2. Ada itu memberi; sama benarnya dengan pernyataan "tidak ada itu tidak memberi" memang sesuatu yang tidak ada tidak mungkin memberi. Jadi, "ada itu memberi" adalah evidensi.

3. Suatu pendapat adalah benar, hanya apabila ia bersesuaian dengan segenap relasi yang berkaitan dengannya; apabila tidak, maka ia nir-benar.

Sesungguhnya, tesis pertama dan tesis kedua adalah sekedar usaha pembedaan dua aspek dari satu tesis yang utuh dan tunggal. Tesis tunggal itu berkatogori sebagai teori tentang eksistensi (the theory of existence). Dalam hal ini : eksistensi dari semua hal yang ada dalam alam-semesta adalah berkat adanya relasi antarpasangan fenomen yang ekuivalen satu sama lain; dan relasi itu dalam wujudnya sebagai interaksi antarpasangan fenomen yang beralasi saling-tergantung, niscaya berkualitas tipikal saling-memberi.

MEAS yang menunjuk adanya relasi saling tergantung antar pasangan fenomen yang ekuivalen satu dengan yang lain, yang melalui proses interaksi saling-memberi yang berlangsung tak terhingga dalam ruang-waktu yang tak terhingga, membentuk alam semesta, diungkapkan oleh Tesis Ontologik Pertama sebagai teori tentang eksistensi (the theory of existence); berkualitas saling-memberi, diungkapkan oleh Tesis Ontologik Kedua, sebagai teori tentang "ada' (the theory of being); Tesis Ontologik ketiga menunjuk pada teori tentang kebenaran (the theory of trutb), teralir berturut-turut secara transitif dari tesis ontologik pertama dan kedua.

Tiga tesis ontogik ini, seperti yang akan kita ketahui bersamaam waktu dengan kefahaman kita mengenai serba konsep yang terkandung di dalam empat sila lainnya dari Pancasila, berfungsi sebagai "principles we judge by" (meminjam ungkapan dari J.D. Mortimer, dalam bukunya Six Great ideas, Macmillan Publishing Co. INC, New York, 1981). Untuk mengetahui ada tidaknya relasi mantik antar konsep yang terkandung dalam tiap sila dan antar konsep antar sila. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat, seharusnya relasi mantik itu ada dalam dirinya. Apabila terbukti benar demikian, maka Tiga Tesis Ontologik ini adalah konsep-raya ontologik (Padanan dari the grand ontological concept) yang terkandung di dalam Pancasila dalam kualitasnya sebagai filsafat.

Misalnya, bukankah semua umat manusia di dunia mengakui adanya Tuhan sebagai kekuatan supranatural yang berada di luar jangkauan kekuatan manusia? Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, semua persoalan umat manusia di dunia yang menyangkut persamaan hak dan kewajiban baik antar pribadi, hubungan antara warga negara dengan negara maupun hubungan antar negara. Faham atau lonsep mengenai manusia ini, mengandung makna ontologik bahwa antar manusia terjalin oleh relasi saling tergantung. Relasi saling-tergantung antarsubyek ini mengungkapkan sendiri kepada nalar manusia bahwa interaksi antarpasangan manusia yang berelasi ekuivalensi demikian juga antarpasangan fenomen jenis yang manapun niscaya berkualitas tipikal : saling-memberi. Interaksi saling-memberi ini menunjukan pada faham yang presuppased ada dan mendahuluinya, yaitu : tugas hidup manusia adalah apriori memberi kepada lingkungan.

Hanya manusia selaku pelaku-sadar yang mampu aktif berprakarsa melaksanakan kewajiban memberi kepada lingkungan. Berkenaan dengan itu, makna dari ungkapan "yang adil" dalam kaitannya dengan "yang beradab" adalah : hanya manusia-subyek yang melaksanakan kewajiban memberi kepada lingkungannya saja yang sewajarnya mendapatkan hak, sebagai menifestasi dari hakekat manusia selaku makhluk individu. Sebaliknya manusia yang tidak melaksanakan kewajiban memberi kepada lingkungan, sesuai dengan Tesis Ontologik II, ia menghapus dirinya sebagai subyek, hapus kualitasnya sebagai subyek penerima hak.

Fungsi dari interaksi antara kewajiban dan hak antarpasangan subyek jamak adalah kondisi keadilan dalam arti luas bagi para subyeknya. Tergantung pada haluan yang terkandung di dalam koordinat-organik yang bersangkutan. Makna dari ungkapan "yang beradab" dalam kaitannya dengan "yang adli" adalah : bahwa keadilan itu intersubyektif, yaitu subyeknya jamak, sebagai manifestasi dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial.

Sila ketiga, persatuan Indonesia, Pada waktu kita kita menemukan konsep MEAS yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kita temukan pula di dalam sub-konsep rakitan-organik yang integral. Rakitan inilah yang dipahamkan sebagai fenomen yang bersosok persatuan. Persatuan antara sejumlah fenomen yang berelasi ekuivalensi yang terbentuk oleh interaksi saling-memberi antarmereka. Persatuannya mengatualkan diri sebagai jenjang baru yang berperilaku sesuai dengan relasi kendali asimetrik yang diembannya, yang berfungsi terpeliharanya kelangsungan interaksi saling-memberi antarfenomen pembentuk dirinya.

Dari realitas alami yang berlangsung dalam alam semesta ini, kita mendapat pengetahuan yang berkualitas dengan konsep ontologik tentang kebersamaan hidup antarmanusia beserta lingkungan; baik yang mengaktualkan diri sebagai kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan bernegara, yaitu ; (1) persatuan itu tercipta oleh interaksi saling-memberi antar sejumlah fenomen yang berada di jenjang bawah, dan (2) sekali suatu jenjang atas terbentuk, ia secara alami terembani dengan relasi kendali asimetrik sebagai wibawa yang pas-persis kadarnya seperti relasi berpasangan pribahasa Minang di tinggikan seranting ditinggikan selangkah untuk memelihara persatuan. Dengan kata lain, persatuan itu terbentuk dan selanjutnya terpelihara oleh interaksi timbal balik antara fenomen yang berada pada jenjang bawah dan yang berada pada jenjang bawah dan yang berada pada jenjang satu tingkat diatasnya. Perlu segera kita catat dengan seksama bahwa relasi-kendali asimetrik adalah energi yang pas-persis bagi eksistensi semua hal, termasuk eksistensi alam semesta itu sendiri.

Fungsi penjurus dari perilaku manusia ini mengaktualkan diri berkat adanya rasa keterikatan diri manusia pada lingkungannya yang tergerakkan oleh hasyrat melaksanakan kewajiban memberi. Merujuk pada tujuan dari memberi yaitu demi terpeliharanya kemampuan memberi dari obyek yang ada dalam lingkungan, maka tidak memberi ini berkualitas sebagai loyalitas pada lingkungan.

Dengan demikian, dapat dinyatakan dengan sahih: bahwa terbentuknya tiap rakitan-organik pada tiap jenjang, dimana manusia terlibat di dalam relasi ekuivalensi tertentu, selain berlangsung mengikuti ketertiban dinamik sistem, juga digerakkan oleh loyalitas manusia pada lingkungan, sebagai satu-satunya pelaku-sadar dalam alam semesta. Kita bisa berhipotesis: manusia sebagai pelaku-sadar dapat bertingkah laku yang bertentangan dengan loyalitasnya pada lingkungan, yaitu pada saat interaksi antar keempat atribut kediriannya tidak dibimbing oleh roh, melainkan oleh salah satu atribut yang lain. Terjadinya cemaran lingkungan, seperti cemaran udara, air, tanah, ozon, dan sebagainya merupakan contoh konkrit mengenai kuatnya pengaruh perilaku manusia.

Akhirnya loyalitas umat manusia seplanit bumi tertuju pada alam semesta ciptaan Tuhan; dengan ungkapan lain: loyalitas manusia pada lingkungan berpucuk diloyalitas pada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai loyalitas omeganya.

Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan permusyawaratan/perwakilan, kerakyatan adalah pengabstrakan dari kata-dasar rakyat. Apabila arti "rakyat" adalah suatu concretus yang berwujud sejumlah banyak orang yang secara spesifik berstatus sebagai warga negara dari suatu negara, maka "kerakyatan" menunjuk pada sifat-sifat alami yang melekat pada rakyat. Dengan merujuk pada hakikat manusia yang telah diungkapkan oleh sila kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial, sifat-sifat alami yang melekat pada kepribadian rakyat adalah: kepekaan dalam berasa, berpikir, bersikap, dan kesediaan berbuat, sesuai dengan keinsyafan keadilan rakyat, inilah makna hakiki dari kerakyatan.

'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan' sebagai predikat dari 'kerakyatan' menunjuk pada faham demokrasi; sedangkan predikat termaksud sebagai dirinya sendiri menunjuk pada prosedur demokratik pengambilan putusan. Sebagai faham demokrasi : Merujuk pada konsep ontologik tentang kebersamaan hidup antarmanusia beserta lingkungannya, yaitu : (1) persatuan dalam hal ini berwujud negara beserta sistem pemerintahannya terbentuk oleh interaksi saling-memberi antargolongan rakyat yang alami maupun yang diorganisasi, yang berada dijenjang infra-struktur, dan (2) sekali jenjang supra-struktur yang berwujud negara beserta pemerintahannya terbentuk, ia terembani dengan relasi kendali a-simetrik sebagai wibawa untuk memelihara kelangsungan interaksi saling- memberi antarkomponen rakyat yang berada pada jenjang infrastruktur, maka 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan' sebagai faham demokrasi menunjuk pada faham: sistem pemerintahan dari-oleh-untuk rakyat dengan tujuan terwujudnya keinsyafan keadilan rakyat, melalui proses yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Menunjukan dua sisi yang tidak saling bertentangan. Bahwa internasionalisme dibangun atas dasar kesadaran nasionalisme yang ada pada setiap warga negara. Soekarno menegaskan bahwa internasionalisme hanya dapat tumbuh subur di atas tanah nasionalisme. Kedua sila tersebut juga menghendaki hubungan kesetaran antar setiap bangsa di dunia yang berlandaskan saling menghargai dan menghormati kedaulatan negara masing-masing. Keduanya secara jelas menolak keras setiap upaya kolonialisme dan imperialisme.

Sila kelima, keadilan sosial, konsep universal yang terkandung didalam Sila Keadilan sosial (bagi seluruh rakyat indonesia) adalah : keadilan adalah produk dari interaksi antarsubyek; bukan barang-jadi (ready-made thing) yang berstatus sebagai hak bawaan dari tiap individu manusia sejak ia dilahirkan. Konsep yang mendasari keadilan adalah keseimbangan antara kewajiban dan hak. Berpanggahan dengan pengakuan ontologik yang telah diidentifikasi di muka, yaitu: bahwa antar manusia terjalin relasi saling-tergantung, maka subyek dari keseimbangan antara kewajiban dan hak adalah jamak.

Dalam kerangka pemikiran inilah terungkap konsep Pancasila mengenai kewajiban dan hak manusia (KHM). Dari interaksi saling-memberi antarsubyek jamak , terungkaplah pengertian hak, yaitu: hak seseorang adalah hasil terlaksananya kewajiban orang lain yang berelasi ekuivalen dengannya. Dengan ungkapan lain, hak adalah derivat dari kewajiban.

Yang khas faham keadilan menurut faham Pancasila adalah: (1) subyeknya jamak yang berinteraksi secara berpasangan (2) bahan baku dari keadilan adalah hasil tunaian kewajiban memberi dari para subyek; (3) keadilannya bersifat fungsional, (4) dengan terjadinya transformasi kewajiban menjadi hak antarpasangan subyek yang jamak, melalui relasi satu-banyak, keadilan sosial terwujud. Jelas mengambarkan kehidupan yang sejahteraan bagi setiap warga dunia.

Sesungguhnya, Pancasila bukan hanya sekedar fondasi nasional negara Indonesia, tetapi berlaku universal bagi semua komunitas dunia internasional. Kelima sila dalam Pancasila telah memberikan arah bagi setiap perjalanan bangsa-bangsa di dunia dengan nilai-nilai yang berlaku universal. Tanpa membedakan ras, warna kulit, agama, setiap negara selaku warga dunia dapat menjalankan Pancasila dengan teramat mudah. Jika demikian, maka cita-cita dunia mencapai keadaan aman, damai, dan sejahtera, bukan lagi sebagai sebuah keniscayaan, tetapi sebuah kenyataan. Mengapa? Karena cita-cita Pancasila sangat sesuai dengan dambaan dan cita-cita masyarakat dunia. Bukankah kondisi dunia yang serba carut-marut seperti sekarang ini diakibatkan oleh faham-faham diluar Pancasila? Bukankah secara de fakto faham komunisme telah gagal dalam memberikan - kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat Uni Soviet?. Bukankah faham liberalisme banyak mendapat tantangan dari negara-negara berkembang?

Era globalisasi kiranya menjadi momentum yang sangat baik guna membangun tatanan dunia baru yang terlepas dari hingar-bingar perang dan kekerasan. Saat ini menjadi momentum yang sangat berharga bagi semua warga dunia untuk menghilangkan chauvinisme dan mengarahkan pandangan kepada Pancasila. Bahwa nilai-nilai luhur Pancasila yang taken for granted dapat menciptakan kondisi dunia menuju suasana yang aman, damai dan sejahtera. Dunia menjadi aman, sesuai nilai Pancasila, karena setiap negara di dunia menghargai dan menghormati kedaulatan setiap negara lain. Kedamaian dunia tercipta, karena Pancasila sangat menentang keras peperangan dan setiap tindak kekerasan dari satu negara kepada negara lain. Dan, kesejahteraan dunia bisa tercapai, sesuai nilai-nilai Pancasila, karena kesetaraan setiap negara di dunia sangat membuka peluang kerja sama antar negara dalam suasana yang tulus, tidak dalam sikap saling curiga, serta tidak saling memusuhi.

PENUTUP

1. Dalam perkembangan dunia yang serba modern seperti saat ini bangsa Indonesia dihadapkan dengan tantangan yang semakin besar dan kompleks sejalan dengan semakin derasnya arus perubahan dan kuatnya dampak globalisasi. Kondisi tersebut-mau tidak mau dan suka tidak suka - dapat berarkibat negatif terhadap cara pandang bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Benteng terkuat untuk menangkal segala bentuk baik ancaman maupun pandangan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa tersebut tentu dengan tetap berpegang teguh pada pandangan hidup bangsa Indonesia.

2. Sejatinya, perubahan sosial yang terjadi akibat globalisasi dipandang sebagai upaya bangsa untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri melalui penyesuaian dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat modern. Atau dengan kata lain, dengan kepribadiannya sendiri, bangsa dan negara Indonesia berani menyongsong dan memandang pergaulan dunia. Tetapi, kendati hidup di antara pergaulan dunia, bangsa dan negara Indonesia tak mesti kehilangan jati diri.

3. Nilai-nilai Pancasila yang bersifat universal dapat diterima sebagai pedoman bagi segala tindakan dan perilaku negara-negara di dunia. Pasalnya, nilai-nilai Pancasila relevan dengan segala situasi dan kondisi di dunia hingga kapanpun. Apalagi Pancasila lahir dan dikembangkan dalam suasana perjuangan dan pemikiran panjang dari perjalanan bangsa Indonesia. Pancasila juga tidak memihak dan bukan bagian dari faham liberal ataupun faham sosialis yang banyak menimbulkan kesengsaraan bagi dunia. Selain itu, nilai-nilai Pancasila memandang kesetaraan setiap bangsa di dunia.

4. Era globalisasi kiranya menjadi momentum yang sangat baik guna membangun tatanan dunia baru yang terlepas dari hingar-bingar perang dan kekerasan. Dunia menjadi aman, sesuai nilai Pancasila, karena setiap negara di dunia menghargai dan menghormati kedaulatan setiap negara lain. Kedamaian dunia tercipta, karena Pancasila sangat menentang keras peperangan dan setiap tindak kekerasan dari satu negara kepada negara lain. Dan, kesejahteraan dunia bisa tercapai, sesuai nilai-nilai Pancasila, karena kesetaraan setiap negara di dunia sangat membuka peluang kerja sama antar negara dalam suasana yang tulus, tidak dalam sikap saling curiga, serta tidak saling memusuhi.